16/09/2008
Jaho adalah sebuah daerah kecil yang terletak di bukit Tambangan, antara wilayah perbatasan Aceh, Padang Panjang, dan Tanah Datar, Minang (Sumatera Barat). Daerahnya sejuk dan asri, penduduknya bersahaja, dan hidup secara rukun dan damai.
Di tengah daerah yang indah itu, lahirlah seorang ulama yang sangat kharismatik. Beliau adalah Syaikh Muhammad Jamil Jaho, yang kerap dipanggil Buya Jaho, atau Inyiak Jaho, atau Angku Jaho. Nama beliau demikian dikennal dan dikenang oleh banyak masyarakat Minang.
Inyiak Jaho lahir pada tahun 1875 di Jaho. Ayahnya bergelar Datuk Garang yang berasal dari Negeri Tambangan, Padang Panjang. Sang ayah pernah menjabat sebagai Qadhi daerah. Ibunya, adalah seorang perempuan yang disegani di tengah-tengah masyarakat.
Muhammad jamil dibesarkan di tengah keluarga yang kuat menjalankan tradisi dan agama. masa kecilnya dihiasi dengan nuansa religi yang sangat kental. Beliau belajar al-Qur’an dan kitab perukunan (kitab-kitab berbahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab) dari ayahnya sendiri. Berkat kecerdasan dan kesungguhannya, pada usia 13 tahun, Muahmmad Jamil telah hafal Al-Qur’an dan isi kitab perukunan.
Melihat kecerdasan dan kesungguhan Muhammad Jamil, sang ayah lalu berinisiatif untuk mengjarinya kitab-kitab kuning. Dalam beberapa waktu yang cukup singkat, Muhammad Jamil mampu mencerna maksud yang terkandung dalam kitab gundul tersebut, dan cakap menguasai bahasa Arab, baik secara lisan atau tulisan. Latar belakang keluarga yang alim inilah, yang membuat Muahmmad Jamil senantiasa haus akan ilmu agama, sehingga ia pun melanjutkan pengaisan ilmunya kepada ulama-ulama besar Minang di zaman itu.
Muhammad jamil semakin tumbuh sebagai sosok yang senantiasa dahaga akan ilmu agama. maka ia pun pergi menuju halaqah atau majlis ilmu pesantren Syeikh al-Jufri di Gunung Raja, Batu Putih, Padang Pajang. Selama belajar di pangkuan Syeikh al-Jufri, Muhammad Jamil menunjukkan ketekunan dan kecerdasannya sehingga ia pun menjadi murid kesayangan sang Syeikh. Ilmu agama yang telah ia ais pun kian hari kian banyak.
Selepas menyelesaikan belajar di halaqah pesantren Syeikh al-Jufri pada tahun 1893, Muhammad Jamil melanjutkan pendidikannya ke seorang ulama ahli fikih terkenal, Syeikh al-Ayyubi di Tanjung Bungo, Padang Ganting. Di pesantren barunya inilah Muhammad Jamil berteman akrab dengan Sulaiman ar-Rusuli, yang kelak menjadi seorang Syeikh terkenal dari tanah Minang. Keduanya adalah santri yang pandai, dan belajar dari Syeikh al-Ayyubi selama enam tahun. Selepas itu, keduanya melanjutkan mengaji ke Biaro Kota Tuo, sebuah tepat berkumpulnya ulama-ulama besar Minang, seperti Syeikh Abdus Shamad, Faqih Shagir, dan lain-lain.
Pada tahun 1899, Muhammad Jamil dan Sulaiman ar-Rasuli pindah mengaji ke Syeikh Abdullah Halaban, seorang ulama Minang yang terkenal mahir ilmu fikih dan ushul fikih. Di perguruan Syeikh Halaban inilah Muhammad Jamil dipercaya untuk menjadi seorang pengajar (ustadz) dan asisten pribadi syeikh Halaban yang kerap dibawa ke pengajian-pengajian keliling negeri Minang.
Pada tahun 1908, atas dahaganya Muhammad Jamil akan ilmu agama, ia pun pergi ke Mekkah Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji dan untuk mengais ilmu. Sebelum berangkat ke tanah suci, Muhammad Jamil dipersuntingkan dengan gadis Tambangan yang bernama Saidah, yang kelak mengaruniai dua orang puteri bernama Samsiyyah dan Syafiah. Sebelum berangkat ke tanah suci pula, paman Muhammad Jamil, Datuk bagindo Malano memberikannya gelar pusaka “Pakiah Bagindo Malano”, sebuah gelar kehormatan.
Di Mekkah, Jamil berguru kepada Syeikh Khatib Minangkabau, seorang putra inang yang menjadi imam, khatib, sekaligus mufti madzhab Syafi’i di Masjid al-Haram. Di Mekkah, beliau bertemu dan belajar bersama Syeikh Abdul Karim Amrullah (ayahanda Buya Hamka). Keduanya menjadi murid kesayangan Syeikh Khatib, dan diberi kehormatan untuk membimbing dan mengajar murid-murid yang lain.
Muhammad Jamil belajar di Mekkah selama 10 tahun lamanya. Selama itu juga ia telah memperoleh tiga ijazah ilmiyyah dari tiga orang ulama besar di Mekkah pada zaman itu, yaitu Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau (guru besar madzhab syafi’i), Syeikh Alwi al-Maliki (guru besar madzhab Maliki), dan Syeikh Mukhtar al-Affani (guru besar madzhab Hanbali).
Sekembalinya dari tanah suci, Syeikh Jamil menjadi ulama terkenal dan disegani karena kedalaman ilmunya dan kesolehan pribadinya. Pada tahun 1922, bersama-sama syeikh Sulaiman ar-Rusuli dan Syeikh Abdul Karim, beliau mendirikan Persatuan Ulama Minangkabau dan perguruan Islam Thawalib.
Di kampung halamannya pula, syeikh Muhammad jamil membuka halaqah pengajian yang banyak didatangi oleh para pengais ilmu. Halaqah ini kelak menjadi Madrasah Tarbiyyah Islamiyyah Jaho.
Syeikh Inyiak Muhammad Jamil Jaho wafat pada tanggal 2 November 1945. Beliau banyak meninggalkan kaya berharga yang menjadi suluh ummat di kemudian hari, yaitu Tadzkiratul Qulub fil Muraqabah ‘Allamul Ghuyub, Nujumul Hidayah, as-Syamsul Lami’ah, fil ‘Aqidah wad Diyanah, Hujjatul Balighah, al-Maqalah ar-Radhiyah, Kasyful Awsiyah, dan lain-lain.
**A. Ginandjar Sya'ban, diambil dari mukaddimah kitab Tadzkirah al-Qulub karangan Syeikh Jamil Jaho
sumber: http://www.nu.or.id